Skip to main content

Sifat Jujur adalah pondasi Kehidupan Manusia


 

Kejujuran dalam Perspektif Ibnu Miskawaih dan Imam Al-Ghazali

Kejujuran dalam Perspektif Ibnu Miskawaih dan Imam Al-Ghazali

Menggali Makna Mendalam dari Dua Pemikir Islam Klasik

Dalam khazanah pemikiran Islam klasik, konsep kejujuran (الصدق, al-shidq) telah dikaji secara mendalam oleh berbagai ulama dan filosof. Dua tokoh yang memberikan kontribusi signifikan dalam pembahasan ini adalah Ibnu Miskawaih dan Imam Al-Ghazali. Meskipun keduanya sepakat tentang pentingnya kejujuran, mereka memiliki penekanan dan pendekatan yang berbeda dalam memahaminya.

Ibnu Miskawaih: Kejujuran sebagai Fondasi Akhlak

Ibnu Miskawaih (932-1030 M), dalam karyanya Tahdzib al-Akhlaq (Penyempurnaan Akhlak), memandang kejujuran sebagai salah satu kebajikan pokok yang menjadi fondasi bagi pembentukan karakter mulia. Baginya, kejujuran bukan sekadar kesesuaian antara perkataan dan kenyataan, tetapi juga keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan.

"الصدق هو موافقة القول الضمير والحال"
"Kejujuran adalah kesesuaian antara perkataan, hati, dan keadaan."

(Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq)

Menurut Miskawaih, kejujuran merupakan jalan menuju kesempurnaan jiwa dan kebahagiaan sejati. Dalam pandangannya yang filosofis, kejujuran membantu manusia mencapai harmoni dengan akal universal dan membawanya mendekati kesempurnaan sebagai manusia.

"إن الصدق يجلو القلب ويصفيه من الكدر والشوائب"
"Sesungguhnya kejujuran membersihkan hati dan menyucikannya dari kekeruhan dan noda."

(Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlaq)

Imam Al-Ghazali: Kejujuran sebagai Jalan Menuju Tuhan

Imam Al-Ghazali (1058-1111 M), dalam magnum opus-nya Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), membahas kejujuran dengan pendekatan yang lebih sufistik. Baginya, kejujuran (الصدق, al-shidq) bukan hanya kebajikan moral, tetapi kondisi spiritual yang menghubungkan manusia dengan Tuhan.

"الصدق أساس الحال وملاك الأمر ومنشور الولاية ومفتاح الدرجة العالية"
"Kejujuran adalah fondasi keadaan, poros urusan, piagam kewalian, dan kunci derajat yang tinggi."

(Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din)

Al-Ghazali membagi kejujuran menjadi tiga tingkatan: kejujuran dalam perkataan (صدق اللسان), kejujuran dalam niat dan tekad (صدق النية والعزم), dan kejujuran dalam pemenuhan janji (صدق الوفاء). Tingkat tertinggi kejujuran adalah ketika seseorang mencapai keadaan di mana tidak ada lagi perbedaan antara lahir dan batinnya.

"أعلى مراتب الصدق أن يصدق في جميع أحواله حتى يصير صدقه وصفا له ولحاله"
"Tingkat kejujuran tertinggi adalah ketika seseorang jujur dalam semua keadaannya, hingga kejujuran menjadi sifat dan karakternya."

(Al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din)

Perbedaan Pandangan antara Ibnu Miskawaih dan Al-Ghazali

Meskipun kedua pemikir ini sepakat tentang pentingnya kejujuran, terdapat perbedaan mendasar dalam pendekatan mereka:

1. Pendekatan Filosofis vs Sufistik
Ibnu Miskawaih mendekati kejujuran dari perspektif filosofis, menekankan pada keselarasan dengan akal dan pencapaian kesempurnaan manusia. Sementara Al-Ghazali menggunakan pendekatan sufistik, menekankan hubungan spiritual dengan Tuhan.

2. Tujuan Akhir
Bagi Miskawaih, kejujuran bertujuan untuk mencapai kebahagiaan duniawi dan akhirat melalui penyempurnaan akhlak. Sedangkan bagi Al-Ghazali, kejujuran bertujuan untuk mencapai kedekatan dengan Allah dan mencapai maqam spiritual yang tinggi.

3. Penekanan pada Aspek Kejujuran
Miskawaih menekankan kejujuran sebagai keselarasan antara pikiran, perkataan, dan perbuatan. Al-Ghazali lebih menekankan pada kejujuran hati dan niat, serta konsistensi antara lahir dan batin.

4. Konteks Pengembangan Diri
Dalam pandangan Miskawaih, kejujuran dikembangkan dalam kerangka pembentukan karakter yang utuh. Sementara bagi Al-Ghazali, kejujuran merupakan bagian dari perjalanan spiritual (suluk) menuju Allah.

Relevansi untuk Kehidupan Modern

Pemikiran kedua tokoh ini tentang kejujuran tetap relevan dalam konteks kehidupan modern. Dalam dunia yang penuh dengan kepalsuan dan manipulasi informasi, kejujuran menjadi nilai yang semakin penting. Pendekatan Miskawaih mengingatkan kita akan pentingnya integritas pribadi, sementara pandangan Al-Ghazali mengajak kita untuk merenungkan dimensi spiritual dari setiap perkataan dan perbuatan kita.

Kedua perspektif ini saling melengkapi dan memberikan panduan holistik tentang bagaimana menjalani kehidupan yang jujur—baik dalam hubungan dengan sesama manusia maupun dalam hubungan dengan Sang Pencipta.

Comments

Popular posts from this blog

PERBEDAAN ANTARA PENILAIAN PROGRAM PENDIDIKAN, PROSES BELAJAR MENGAJAR, DAN HASIL BELAJAR.

Dalam penilaian Pendidikan, mencangkup tiga sasaran utama yakni penilaian program pendidikan, penilaian proses belajar mengajar   dan penilaian hasil-hasil belajar. Keberhasilan pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa, tetapi juga dari segi prosesnya. Hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Ini berarti optimalnya hasil belajar siswa tergantung pula pada proses belajar siswadan proses mengajar guru. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses belajar-mengajar. Penilaian proses merupakan penilaian yang menitikberatkan sasaran penilaian pada tingkat efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Penilaian proses belajar mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola interaksi guru-siswa dan keterlaksanaan proses belajar mengajar.

Bacaan Sebelum Shalat Witir

ü     اوتروا ومجدوا وعظموا شهر الصيام رحمكم الله @ لا إله إلا الله ، وحده لا شريك له ، له الملك ، وله الحمد ، يحيي ويميت،  وهو على كل شيء قدير.... ü     اللهم صل على سيدنا محمد @ صلى الله عليه وسلم. ü     اللهم صل على سيدنا ونبينا وحبيبينا وشفيعنا وذخرنا ومولانا محمد @ صلى الله عليه وسلم.

Cerita Bagus dari Kitab Uquudu Lujain Fii Bayaani Huquuzzaujaini

Di baghdad ada seorang laki laki menikah dengan anak puteri pamannya sendiri. Dalam pernikahan itu ia berjanji tidak akan menikah lagi dengan wanita lain. Suatu hari ada seorang perempuan datang (belanja) ke tokonya. Ia meminta lelaki itu untuk menikahi dirinya. Lelaki itupun bercerita apaadanya, bahwa dia telah mengikat janji dengan  istrinya (anak pamannya)untuk tidak akan kawin lagi dengan wanita lain.