Skip to main content

Pelit menurut Imam Alghazali


 

Bahaya Sifat Pelit: Mengurai Akar dan Cara Mengobatinya

Bahaya Sifat Pelit: Mengurai Akar dan Cara Mengobatinya

Menelusuri Penyakit Hati Menurut Imam Al-Ghazali

Definisi Pelit Menurut Kitab Tasawuf

Dalam terminologi tasawuf, pelit (bakhil) didefinisikan sebagai sifat yang membuat seseorang enggan mengeluarkan harta atau hak yang seharusnya dikeluarkan, padahal ia mampu melakukannya.

"Pelit adalah penyakit hati yang membuat seseorang merasa berat untuk mengeluarkan harta di jalan yang benar, padahal ia mengetahui kewajibannya. Ini adalah penyakit yang timbul dari cinta dunia yang berlebihan."
- Imam Al-Ghazali

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa pelit memiliki beberapa tingkatan:

  1. Pelit terhadap harta yang wajib dizakati (tingkatan terparah)
  2. Pelit terhadap harta yang sunnah untuk disedekahkan
  3. Pelit terhadap harta yang seharusnya digunakan untuk kebutuhan diri dan keluarga

Pendorong Munculnya Sifat Pelit

  • Cinta Dunia yang Berlebihan: Terlalu mencintai harta dan kenikmatan duniawi sehingga takut kehilangan.
  • Tidak Percaya pada Janji Allah: Keraguan terhadap rezeki yang dijanjikan Allah membuat seseorang menimbun harta.
  • Pengaruh Lingkungan: Dibesarkan dalam lingkungan yang materialistis dan individualis.
  • Takut Miskin: Keyakinan keliru bahwa dengan menimbun harta, ia akan terhindar dari kemiskinan.
  • Kurangnya Ilmu tentang Hakikat Harta: Tidak memahami bahwa harta adalah amanah dari Allah.

Peringatan Imam Al-Ghazali: "Siapa yang menyimpan hartanya dan tidak menunaikan haknya, maka hartanya akan menjadi api yang membakarnya di akhirat."

Kriteria Sifat Pelit

1. Pelit dalam Harta

Enggan mengeluarkan zakat, sedekah, atau infak padahal mampu. Selalu merasa hartanya kurang meski sebenarnya berkecukupan.

2. Pelit dalam Ilmu

Enggan berbagi pengetahuan yang bermanfaat dengan orang lain, khawatir kehilangan keunggulan atau keistimewaan.

3. Pelit dalam Tenaga dan Waktu

Tidak mau membantu orang lain dengan tenaga atau waktu yang dimiliki, meski mampu.

4. Pelit dalam Pujian dan Pengakuan

Sulit mengakui kebaikan orang lain atau memuji prestasi mereka.

Pendukung Sifat Pelit sehingga Semakin Binasa

1

Bergaul dengan Orang Pelit

Lingkungan pertemanan dengan orang-orang yang materialistis akan memperkuat sifat pelit.

2

Terlalu Fokus pada Akumulasi Harta

Selalu memikirkan cara menambah harta tanpa mempertimbangkan kewajiban sosial.

3

Kurang Bersyukur

Tidak mensyukuri nikmat yang diterima, sehingga selalu merasa kekurangan.

4

Menjauhi Ilmu Agama

Tidak mempelajari ajaran Islam tentang hakikat harta dan kewajiban sosial.

Imam Al-Ghazali mengingatkan: "Orang yang pelit sebenarnya adalah orang yang miskin, meskipun ia memiliki harta berlimpah. Karena kekayaan sejati adalah kekayaan hati, bukan kekayaan harta."

Sejarah dan Awal Kemunculan Sifat Pelit

Sifat pelit telah ada sejak awal peradaban manusia. Dalam Al-Qur'an, kisah Qarun disebutkan sebagai contoh nyata manusia yang dilanda penyakit pelit. Meski memiliki harta berlimpah, ia enggan berbagi dan akhirnya ditenggelamkan bersama hartanya.

Imam Al-Ghazali menelusuri akar sifat pelit hingga pada ketidakseimbangan tiga kekuatan dalam jiwa manusia:

  1. Kekuatan Akal: Seharusnya mengendalikan nafsu, tetapi terkalahkan oleh nafsu serakah.
  2. Kekuatan Amarah: Berubah menjadi keserakahan dan keinginan menguasai harta.
  3. Kekuatan Syahwat: Keinginan menikmati harta secara berlebihan.

Derajat Sifat Pelit

"Pelit memiliki tiga tingkatan: Pertama, pelit terhadap apa yang diwajibkan Allah. Kedua, pelit terhadap apa yang dianjurkan. Ketiga, pelit terhadap apa yang seharusnya diberikan kepada diri sendiri dan keluarga."
- Imam Al-Ghazali

1. Pelit Tingkat Ringan

Enggan memberikan sedekah sunnah, tetapi masih menunaikan kewajiban zakat. Hatinya merasa berat ketika diminta untuk berbagi.

2. Pelit Tingkat Menengah

Menunda-nunda atau berusaha menghindar dari kewajiban zakat, tetapi akhirnya tetap membayarnya.

3. Pelit Tingkat Berat

Enggan mengeluarkan zakat dan sedekah wajib, bahkan pelit terhadap kebutuhan diri dan keluarganya yang layak.

Konsekuensi dan Efek Sifat Pelit

Konsekuensi di Dunia:

  • Hati selalu gelisah dan tidak tenang
  • Dijauhi oleh masyarakat sekitar
  • Harta tidak berkah meski berlimpah
  • Mendapatkan reputasi buruk sebagai orang kikir
  • Hubungan sosial menjadi renggang

Efek Spiritual:

  • Hati Menjadi Keras: Sulit menerima kebenaran dan nasihat
  • Ibadah Terganggu: Shalat dan ibadah lainnya tidak khusyuk karena selalu memikirkan harta
  • Jauh dari Rahmat Allah: Sifat pelit menghalangi turunnya rahmat Allah
  • Doa Tidak Terkabul: Imam Al-Ghazali menyebutkan bahwa doa orang pelit sulit dikabulkan

Imam Al-Ghazali mengutip hadits: "Jauhilah sifat pelit, karena sifat pelit telah membinasakan orang-orang sebelum kamu. Sifat itu menyuruh mereka untuk memutuskan silaturahmi, maka mereka memutuskannya; menyuruh mereka untuk berbuat kikir, maka mereka berbuat kikir; dan menyuruh mereka untuk berbuat dosa, maka mereka berbuat dosa."

Cara Menghilangkan Sifat Pelit

1

Mengenal Hakikat Harta

Memahami bahwa harta adalah amanah dari Allah yang harus dikelola dengan benar.

2

Mempercayai Janji Allah

Yakin bahwa sedekah tidak mengurangi harta, justru melipatgandakannya.

3

Membiasakan Diri Bersedekah

Mulai dengan jumlah kecil dan konsisten, kemudian meningkat secara bertahap.

4

Bergaul dengan Orang Dermawan

Meneladani sifat dermawan dari orang-orang shaleh.

Langkah Praktis Menurut Imam Al-Ghazali:

  1. Muhasabah: Mengevaluasi diri setiap hari tentang pengeluaran yang telah dilakukan
  2. Memaksa Diri: Pada awalnya, memaksa diri untuk berbagi meski terasa berat
  3. Merenungkan Bahaya Pelit: Mengingat-ingat akibat buruk sifat pelit di dunia dan akhirat
  4. Berdoa: Memohon kepada Allah untuk dihindarkan dari sifat pelit
  5. Membaca Kisah Orang Dermawan: Mengambil pelajaran dari kehidupan para sahabat Nabi yang dermawan
"Obat bagi sifat pelit adalah dengan membiasakan diri memberi, meskipun sedikit. Sebagaimana obat bagi orang yang bakhil adalah dengan memaksanya untuk bersedekah, hingga ia merasakan manisnya memberi."
- Imam Al-Ghazali

© 2023 Blog Spiritual Islami. Semua hak dilindungi.

Ditulis berdasarkan kajian kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali

Comments

Popular posts from this blog

PERBEDAAN ANTARA PENILAIAN PROGRAM PENDIDIKAN, PROSES BELAJAR MENGAJAR, DAN HASIL BELAJAR.

Dalam penilaian Pendidikan, mencangkup tiga sasaran utama yakni penilaian program pendidikan, penilaian proses belajar mengajar   dan penilaian hasil-hasil belajar. Keberhasilan pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa, tetapi juga dari segi prosesnya. Hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Ini berarti optimalnya hasil belajar siswa tergantung pula pada proses belajar siswadan proses mengajar guru. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses belajar-mengajar. Penilaian proses merupakan penilaian yang menitikberatkan sasaran penilaian pada tingkat efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Penilaian proses belajar mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola interaksi guru-siswa dan keterlaksanaan proses belajar mengajar.

Bacaan Sebelum Shalat Witir

ü     اوتروا ومجدوا وعظموا شهر الصيام رحمكم الله @ لا إله إلا الله ، وحده لا شريك له ، له الملك ، وله الحمد ، يحيي ويميت،  وهو على كل شيء قدير.... ü     اللهم صل على سيدنا محمد @ صلى الله عليه وسلم. ü     اللهم صل على سيدنا ونبينا وحبيبينا وشفيعنا وذخرنا ومولانا محمد @ صلى الله عليه وسلم.

Cerita Bagus dari Kitab Uquudu Lujain Fii Bayaani Huquuzzaujaini

Di baghdad ada seorang laki laki menikah dengan anak puteri pamannya sendiri. Dalam pernikahan itu ia berjanji tidak akan menikah lagi dengan wanita lain. Suatu hari ada seorang perempuan datang (belanja) ke tokonya. Ia meminta lelaki itu untuk menikahi dirinya. Lelaki itupun bercerita apaadanya, bahwa dia telah mengikat janji dengan  istrinya (anak pamannya)untuk tidak akan kawin lagi dengan wanita lain.