Skip to main content

Melacak Akar Pengkhianatan dan Kezaliman

 

الغدر والضيم dalam Pandangan Etika Ibnu Miskawayh: Melacak Akar Pengkhianatan dan Kezaliman Oleh: [Elm7bareki] Tanggal: 16 Desember 2025 Kategori: Filsafat Islam, Akhlak, Refleksi
---
Ilustrasi Pena dan Naskah Klasik
Dalam kehidupan yang sering kali diwarnai oleh konflik dan persinggungan kepentingan, dua penyakit moral yang terus menggerogoti keutamaan manusia adalah الغدر (al-ghadr - pengkhianatan) dan الضيم (al-dhaym - kezaliman/penindasan). Keduanya bukan sekadar pelanggaran sosial biasa, melainkan gejala dari ketidakseimbangan jiwa yang dalam. Untuk memahami akarnya, kita dapat merujuk pada pemikiran filsuf etika Muslim abad ke-10, Ibnu Miskawayh (932–1030 M), dalam mahakaryanya, Tahdzib al-Akhlaq wa Tathhir al-A’raq (Pembersihan Akhlak dan Penyucian Watak). Siapa Ibnu Miskawayh? Ibnu Miskawayh adalah seorang pemikir multidisipliner yang berperan sebagai pustakawan, tabib, sekretaris, dan filsuf di istana Buwaihi. Pendekatannya yang unik terhadap etika bersifat teleologis dan eudaimonistik—yakni percaya bahwa tujuan akhir manusia adalah mencapai kebahagiaan sejati (sa’adah), yang hanya bisa diraih melalui penyempurnaan akhlak. Etika baginya adalah “obat” bagi jiwa, dan filsafat adalah praktik untuk meraih kesempurnaan. Psikologi Moral: Tiga Daya Jiwa Sebelum mendalami ghadr dan dhaym, kita perlu pahami peta jiwa manusia menurut Miskawayh, yang ia adaptasi dari Plato dan Aristoteles: 1. Daya Pikir (al-quwwah al-‘aqliyyah): Sumber kebijaksanaan, pengetahuan, dan kemampuan membedakan baik-buruk. 2. Daya Marah (al-quwwah al-ghadabiyyah): Sumber keberanian, ketegasan, dan semangat. Saat seimbang, ia melahirkan sifat syaja’ah (keperwiraan). 3. Daya Nafsu (al-quwwah al-shahwiyyah): Sumber keinginan, hasrat, dan kecenderungan pada kesenangan. Saat terkendali, ia melahirkan ‘iffah (kesantunan). Keharmonisan ketiga daya ini, di bawah komando Akal, menghasilkan keadilan (al-‘adl)—yang merupakan puncak kebajikan. Sebaliknya, ketidakseimbangan melahirkan keburukan. Mengurai الغدر (Al-Ghadr): Pengkhianatan sebagai Sakitnya Jiwa Al-Ghadr (pengkhianatan) adalah tindakan ingkar janji, melanggar amanah, atau berbuat curang kepada pihak yang mempercayai kita. Menurut Miskawayh, ini bukan kesalahan kecil, melainkan kerusakan multi-dimensi dalam jiwa: · Kegagalan Daya Pikir: Pengkhianat gagal menggunakan akalnya untuk menilai konsekuensi jangka panjang. Ia melihat keuntungan sesaat (harta, posisi, balas dendam) sebagai "kebaikan", padahal itu adalah ilusi. Kebijaksanaan tertutup oleh kabut nafsu. · Distorsi Daya Marah: Daya yang seharusnya menjadi keberanian untuk membela kebenaran dan menepati janji, berubah menjadi kelicikan atau kepengecutan. Seseorang bisa mengkhianati karena takut menghadapi konsekuensi dari kesetiaan, atau justru karena keberanian yang salah—yaitu nekad melanggar norma. · Pemberontakan Daya Nafsu: Inilah penyulut utama. Nafsu akan kekuasaan, harta, pengakuan, atau kesenangan fisik mendikte akal. Daya nafsu yang seharusnya menjadi "pelayan" malah menjadi "tiran" yang menggulingkan kekuasaan akal. Dengan kata lain, pengkhianat adalah orang yang jiwanya dalam keadaan kacau-balau. Amanah (al-amanah) yang merupakan fondasi sosial, ia injak-injak karena ketidakmampuan mengatur diri sendiri. Mendalami الضيم (Al-Dhaym): Kezaliman sebagai Ketidakseimbangan Eksternal Al-Dhaym mencakup segala bentuk kezaliman, penindasan, dan pelanggaran hak orang lain. Ini adalah ketidakadilan dalam aksi. Jika ghadr sering bersifat personal dan berbasis hubungan percaya, dhaym lebih luas: bisa oleh penguasa pada rakyat, oleh si kuat pada si lemah, atau oleh diri pada diri sendiri (dengan menzalimi potensi dirinya). Dalam kerangka Miskawayh, dhaym adalah buah pahit dari jiwa yang tidak adil. Pelakunya mengalami disorientasi nilai: · Ia menempatkan sesuatu bukan pada proporsinya. · Ia mengambil hak yang bukan miliknya. · Ia memberi beban di luar kemampuan. Kezaliman, baginya, adalah kejahatan terbesar karena merusak tatanan kosmis dan sosial. Yang menarik, Miskawayh menekankan bahwa pelaku kezaliman justru lebih merugikan dirinya sendiri. Mengapa? Karena dengan berbuat zalim, jiwa pelakunya semakin menjauh dari kesempurnaan dan kebahagiaan sejati. Ia mungkin dapat dunia, tetapi ia kehilangan ketenangan batin dan kemuliaan jiwa—yang justru esensi kebahagiaan manusia. Relevansi Kontemporer: Pengkhianatan dan Kezaliman di Era Digital Konsep Miskawayh tetap tajam menganalisis masalah masa kini: · Al-Ghadr Modern: Terlihat dalam ghosting (menghilang tanpa kabar) dalam hubungan, plagiarisme (mengkhianati kejujuran akademik), korupsi (mengkhianati amanah rakyat), hingga penyebaran data pribadi. · Al-Dhaym Modern: Terwujud dalam bullying di media sosial, eksploitasi buruh, ketimpangan ekonomi sistematis, hingga canceling culture yang tanpa proses adil. Akar semua ini, kata Miskawayh, tetap sama: nalar yang tunduk pada nafsu, dan keberanian yang digunakan untuk hal yang keliru. Terapi Jiwa: Melawan Ghaddar dan Kezaliman dari Dalam Ibnu Miskawayh tidak hanya mendiagnosis, tetapi juga memberi resep tahdzib al-akhlaq (pembersihan akhlak): 1. Pendidikan Akal (Ta’lim): Melatih diri dengan ilmu, terutama filsafat dan etika, untuk mampu membedakan kebaikan sejati dari kebaikan semu. 2. Pembiasaan (Ta’wid): Membiasakan diri melakukan kebalikan dari sifat buruk. Jika cenderung khianat, paksa diri untuk selalu menepati janji sekecil apa pun. Jika cenderung zalim, biasakan memberi hak orang lain sebelum menuntut hak sendiri. 3. Refleksi Diri (Muhasabah): Melakukan introspeksi harian sebelum tidur: "Apa hak orang lain yang masih ada padaku? Apakah aku telah melanggar amanah hari ini?" 4. Pergaulan yang Baik (Suhbah al-Shalihin): Bergaul dengan orang-orang baik yang bisa mengingatkan kita saat menyimpang. Kesimpulan: Membangun Benteng Jiwa Menurut Ibnu Miskawayh, الغدر والضيم adalah penyakit jiwa yang bermula dari ketidakmampuan kita mengatur "kerajaan internal". Perang melawan pengkhianatan dan kezaliman adalah perang untuk mengembalikan sang Raja (Akal) ke tahtanya, agar Daya Marah menjadi prajurit yang berani membela kebenaran, dan Daya Nafsu menjadi pelayan yang produktif. Dalam dunia yang kerap mengagungkan kecerdasan strategi dan keberanian tanpa batas, Miskawayh mengingatkan: kecerdasan tanpa kebijaksanaan hanya akan melahirkan kelicikan, dan keberanian tanpa keadilan hanya akan melahirkan penindasan. Akhlak yang mulia adalah fondasi peradaban yang sejati. Perjalanan pembersihan jiwa ini memang berat, tetapi seperti kata Miskawayh, inilah satu-satunya jalan menuju sa’adah—kebahagiaan sejati yang abadi. --- Referensi: Ibn Miskawayh. Tahdzib al-Akhlaq. Berbagai edisi dan terjemahan. Tag:#FilsafatIslam #IbnuMiskawayh #Akhlak #Pengkhianatan #Kezaliman #TahdzibulAkhlaq #PsikologiMoral #RefleksiHidup

Bagaimana pendapat Anda tentang relevansi pemikiran Ibnu Miskawayh di zaman sekarang?

Silakan tinggalkan komentar konstruktif di bawah. Mari berdiskusi dengan santun dan penuh hikmah.


Blog ini dikelola dengan penuh cinta untuk berbagi khazanah ilmu klasik yang tetap relevan. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat, pertimbangkan untuk membagikannya.

Comments

Popular posts from this blog

PERBEDAAN ANTARA PENILAIAN PROGRAM PENDIDIKAN, PROSES BELAJAR MENGAJAR, DAN HASIL BELAJAR.

Dalam penilaian Pendidikan, mencangkup tiga sasaran utama yakni penilaian program pendidikan, penilaian proses belajar mengajar   dan penilaian hasil-hasil belajar. Keberhasilan pengajaran tidak hanya dilihat dari hasil belajar yang dicapai oleh siswa, tetapi juga dari segi prosesnya. Hasil belajar pada dasarnya merupakan akibat dari suatu proses belajar. Ini berarti optimalnya hasil belajar siswa tergantung pula pada proses belajar siswadan proses mengajar guru. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penilaian terhadap proses belajar-mengajar. Penilaian proses merupakan penilaian yang menitikberatkan sasaran penilaian pada tingkat efektivitas kegiatan belajar mengajar dalam rangka pencapaian tujuan pengajaran. Penilaian proses belajar mengajar menyangkut penilaian terhadap kegiatan guru, kegiatan siswa, pola interaksi guru-siswa dan keterlaksanaan proses belajar mengajar.

Bacaan Sebelum Shalat Witir

ü     اوتروا ومجدوا وعظموا شهر الصيام رحمكم الله @ لا إله إلا الله ، وحده لا شريك له ، له الملك ، وله الحمد ، يحيي ويميت،  وهو على كل شيء قدير.... ü     اللهم صل على سيدنا محمد @ صلى الله عليه وسلم. ü     اللهم صل على سيدنا ونبينا وحبيبينا وشفيعنا وذخرنا ومولانا محمد @ صلى الله عليه وسلم.

Cerita Bagus dari Kitab Uquudu Lujain Fii Bayaani Huquuzzaujaini

Di baghdad ada seorang laki laki menikah dengan anak puteri pamannya sendiri. Dalam pernikahan itu ia berjanji tidak akan menikah lagi dengan wanita lain. Suatu hari ada seorang perempuan datang (belanja) ke tokonya. Ia meminta lelaki itu untuk menikahi dirinya. Lelaki itupun bercerita apaadanya, bahwa dia telah mengikat janji dengan  istrinya (anak pamannya)untuk tidak akan kawin lagi dengan wanita lain.